Hampir tiap minggu saya bolak balik ke pesantren. Suatu waktu diperjalanan, istri minta sopir berhenti untuk membeli tissue. Sang sopir berhenti di depan minimarket. Kembali ke mobil, istri dan anak ternyata membawa belanjaan sekantong plastik.
Sekilas peristiwa itu biasa saja. Tetapi sepanjang jalan saya merenung. Sepertinya ada yang salah.
- Minimarket sampai di pelosok, apakah ini tdk mengganggu beradaan toko2 kecil ?
- Hanya utk membeli tissue kok mesti ke minimarket, apakah tdk ada di toko kecil lain?
- Tadinya cuman beli tissue, kok balik bawa sekantong plastik ? Keberadaan toko2 kecil akan terancam keberadaannya dan bahkan akan mati. Padahal toko2 kecil menjadi sumber kehidupan beribu-ribu rakyat yang bisa dikatakan semuanya berasal dari kelas menengah ke bawah. Sedangkan minimarket hanya menghidupi para investor (dari golongan tertentu) dan segelintir tenaga kerja yang dipekerjakan. Minimarket ini akan menjadi semacam vacuum cleener yg akan mengisap hampir semua sumber daya ekonomi ummat sampai ke pelosok, kemudian dipusatkan pada sekelompok orang untuk kepentingannya sendiri. Apakah ada sisi kemanusiaan, pertemanan dan persaudaraan ketika kita belanja di minimarket atau mall ?. Hampir tidak ada. Bertahun-tahun kita menjadi pelanggan, yang bahkan dibuktikan dengan “kartu pelanggan”, tapi sungguh penjualnya tetap tidak kita kenal. Bahkan pelayanpun kita tak tahu siapa, apa dan bagaimana kehidupan mereka. Komunikasi hanya dengan “pelayan”, ingat bukan “penjual”. Dan hanya seputar transaksi saja. Itupun sekarang diwakili dengan tulisan. Bandingkan di warung2 kecil, ada interaksi sosial kemasyarakatan yang akrab. Ada “obrolan”, bukan sekedar transaksi barang yang menghilangkan nilai sosial kemanusiaan kita. Kita jadi tahu, kenal dan dekat dapat silaturahmi dengan masyarakat dan lingkungan. Komunikasi beginilah yang manusiawi. Yang menghubungkan antar orang, komunitas dan masyarakat. Bukan sekedar barang, angka penjualan dan plastik kemasan. Bayangkan, sampai umur berapa toko2 modern “mau” mempekerjakan para pelayan ini? Cuma saat usia muda. Sedang dengan menjadi “penjual”, sebenarnya mereka akan “terhidupi” Bahkan sampai anak-anak mereka dewasa.
- Mengapa ketika kita ke mini/supermarket belanjaan jadi banyak?. Itulah kelemahan kita. Tanpa kita sadari kita adalah masyarakat konsumtif. Ini yg dimanfaatkan oleh pemilik modal. Karena semua tertata, tersedia jadinya kita tdk bisa membedakan mana kebutuhan, mana keinginan. “obral dan diskon ngakali” yang penuh strategi bisnis itulah yang bisa menjebak kita menguras isi kartu kredit mengambil semua yang dilihat, memenuhi semua keinginan, membeli banyak barang yang sebenarnya tdk perlu. Ketika kita ke warung tetangga umumnya hanya tersedia kebutuhan pokok sehingga kita terhindar dari jebakan keinginan.
- Membeli di warung tetangga akan menumbuhkan kekuatan ekonomi masyarakat. Kita jadi berperan bagi tegaknya ekonomi dan ketahanan sebuah keluarga, suami, istri dan anak2nya. Dan mereka, berperan sebagai penjual. Berwirausaha. Bukan sekedar menjadi pelayan alias babu dari para pemilik modal kapitalis. Nikmatilah sisi kemanusiaan anda. Warung tetangga jauh Lebih murah, manusiawi, menumbuhkan ekonomi, memberdayakan masyarakat, dan ada nilai silaturahmi antar tetangga. Mau umur panjang dan banyak rejeki? Mari biasakan berbelanja di warung tetangga…
Sekali lagi ” Ayo Selamatkan Warung/ Toko dan Pasar Tradisional di sekeliling kita”!
dr. Hisbullah
Pimbina Pondok PAI