Pandangan Pembina Pondok Pesantren Alam Indonesia terhadap stigma gerakan 411,
Terima kasih kepada dr. Bambang yg telah memposting salah satu tulisan Buya Syafi’i Ma’arif di grup WA yg kita cintai ini dan ternyata setelah saya cari juga diposting di FB. Ini tentunya akan menambah wawasan berpikir kita tentang duduk perkara pelaporan ke polisi dugaan penistaan agama dan dugaan menghina ulama.
Saya tentunya tidak boleh ikut-ikutan “komen” masalah tersebut karena saya adalah anggota TNI aktif yang dilarang terlibat langsung pada aktifitas yang “berbau” SARA, politik dan lain-lain. Tetapi saya terusik dengan kata : “sumbu pendek” di kata pengantarnya yang karena saya sangat tidak mengerti dengan statemen” tersebut, boleh jadi yang dimaksud itu termasuk saya dan kita semua.
Saya juga tidak dalam posisi mengomentari artikel Buya: pertama karena itu bukan kapasitas saya sebagai praktisi medis, kedua beliau adalah idola saya secara personal sehingga saya hanya bisa mengapresiasi pemikiran beliau pada artikel tersebut, ketiga karena saya adalah salah satu unsur Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Sulawesi Selatan dimana saya harus tunduk pada maklumat PP Muhammadiyah untuk tidak ikut terlibat langsung dengan membawa nama Muhammadiyah atau atribut Muhammadiyah, kecuali mereka secara pribadi yang akan menggunakan hak konstitusionalnya mengemukakan pendapat di depan umum. Terhadap artikel Buya dan artikel lain terkait, di internal organisasi sudah kami baca. Perbedaan pendapat sudah merupakan tradisi di organisasi dan yang selalu menjadi rujukan adalah maklumat Pimpinan Pusat.
Siapa yang anda masud dengan si “Sumbu pendek”. Apakah yang anda maksud itu adalah orang yang turun ke jalan untuk berorasi, karena setahu saya ikut berorasi juga Gubernur Sulsel. Apakah anda bermaksud mengatakan SYL dan beberapa Ulama bersumbu pendek ?. Hati-ahati mengeluarkan stateman karena dibelakang mereka berdiri massa yang tidak mustahil seperti kata anda benar-benar “bersumbu pendek”. Bagaimana jika mereka akhirnya tahu postingan anda kemudian datang mendemo anda dan berdemo di rumah sakit ?. Bisa repot kita semua. Masih mending jika mereka hanya lapor polisi, hanya anda yang repot dan tidak merepotkan kita-kita.

Yang anda maksud si “Sumbu pendek” pastilah bukan orang kristen, bukan orang (maaf) Cina, Ambon, Batak atau yang segolongan dengan anda. Semestinya anda tahu dan sadar bahwa kelompok Islam yang melaporkan saudara Gubernur DKI ke polisi atas dugaan penistaan agama adalah sah secara hukum. Kelompok Ulama yang melapor karena merasa dihina juga sah secara hukum. Umat Islam yang turun ke jalan untuk mengemukakan pendapat juga sah secara hukum. Ketiganya adalah hak konstitusional warga negara yang dilindungi undang undang. Aparat juga sudah merespon dengan memberi pengamanan dan menerima pengaduan si pelapor. Jadi sangat aneh jika ada orang atau sekelompok orang yang mempermasalahkan warga negara lain yang menggunakan hak hukum dan hak konstitusionalnya.
Siapa sesungguhnya yang anda maksud dengan “Sumbu pendek” ?. Jadi di luar kelompok itu, berarti anda dan kelompok anda termasuk yang “bersumbu panjang”. Kalau kita potong di kata sumbu, biasanya dihubungkan dengan bahan peledak, artinya yang sumbunya pendek gampang meledak. Jika kita bergurau, mana yang lebih pendek sumbu petasan atau sumbu bom ?. Biasanya orang yang bermain petasan di tempat terbuka, mudah dilihat orang, niatnya tidak macam-macam dan skalanya kecil. Kalau Bom, dirakit secara diam-diam, dilatarbelakangi oleh perasaan dengki, dan tiba tiba meledak dan mencelakkan banyak orang. Menurut pengamatan saya demo yang dilakukan umat Islam tidak ditujukan kepada agama tertentu, tidak juga untuk etnis tertentu. Jelas menuju pada personal. Bandingkan demo di Amerika, Inggeris, Australia. Jelas ada demo anti Islam. Jadi menurut anda apakah di negara minoritas islam tersebut masyarakatnya tidak punya sumbu ?.
Kita juga jangan lupa bahwa mungkin kelompok “sumbu pendek” itu juga yang datang ke rumah sakit, sebagiannya dipasangi “cincin” yang mereka belum tentu tahu indikasi pemasangannya. Sangat tidak adil jika mereka dilabeli macam-macam padahal kita hidup dari mereka. Akan repot jadinya jika kelompok “sumbu pendek” ini tahu bahwa ada seseorang di rumah sakit yang pernah menyebut masyarakat (entah siapa) dengan sebutan negatif. Ini akan menjadi kontraproduktif bagi profesi luhur kita yang harus terbebas dari unsur SARA.
Menurut pendapat saya statemen anda tentang “sumbu pendek” yang entah ditujukan kepada siapa (hanya anda dan Tuhan yang tahu) bisa menyinggung banyak orang termasuk saya pribadi. “Statement Sumbu Pendek” sudah terlanjur menyebar karena postingan anda di medsos. Anda harus siap mempertanggung jawabkannya. Bapak Kapolri sudah menghimbau agar masyarakat waspada dan tidak terpancing dengan konten yang ada di medsos. Mungkin maksudnya anda baik, tetapi belum tentu bisa diterima banyak orang. Memberi label kepada kelompok tertentu apalagi dengan kata “sumbu pendek” menurut memat saya adalah bentuk intoleransi nyata kepada kelompok lain dan merupakan ancaman terhadap keberagaman. Orang boleh berbeda pendapat tetapi tidak boleh seenaknya memberi label apalagi stigma kepada kelompok lain apalagi label yang cenderung merendahkan seperti kata “sumbu pendek”.
Kepada teman sejawat lain saya menghibau agar tidak ikut-ikutan memperkeruh suasana. Ummat yang turun ke jalan kemarin, mungkin sebagain tidak mengerti Al Qur’an, tidak pernah membaca Surat Al Maidah, tidak pernah mendengar video Pak Gubernur Basuki. Tetapi mengapa mereka ramai-ramai turun ke jalan ?. Menjadi pertanyaan besar mereka adalah mengapa ada pejabat publik pada acara dan jam dinas menyebut-nyebut kitab suci orang lain yang di luar keyakinannya ?. Tentu kita tidak bisa menyalahkan mereka karena itu masalah paling sensitif. Kembali ke kita bahwa jangan lagi ada diantara kita yang ikut-ikutan di medsos memposting sesuatu yang di luar bidang kita, apalagi di luar keyakinan kita. Apapun isinya, apapun niatnya tetap akan dinilai negatif bila yang dimasuki adalah wilayah keimanan orang lain.
Mari kita mentoleransi orang lain, untuk menjalankan keyakinannya. Tidak usah mengusik umat lain dengan mencari-cari kelamahannya. Urus saja kepercayaan dan keyakina masing-masing. Jika ada yang merasa tidak nyaman dengan aktifitas orang lain yang menjalankan keyakinannya atau merasa tersinggung dengan orang lain yang menggunakan hak hukum dan hak konstitusionalnya silakan menempuh jalur hukum. Jangan kasak-kasuk merasa benar sendiri. Ada mekanisme hukum yang bisa menguji klaim kebenaran individu. Umat non muslim tolong jangan mengipas-ngipasi suasa kebatinan umat muslim saat ini yang sudah mulai coolingdown. Ikut memposting perbedaan pendapat yang ada dikalangan muslim oleh orang non muslim menurut hemat saya bukanlah tindakan bijak, karena itu bisa dikategorikan sebagai niat mengadu domba. Mengapa tidak posting saja perbedaan pendapat di agama masing-masing. Apakah di agamanya sendiri sudah tidak ada perbedaan pendapat ?.
Selaku aparat negara saya menghimbau kepada kita semua dan diri saya sendiri untuk mematuhi hukum dan menyerahkan masalah Pak Gubernur DKI ke mekanisme hukum yang berlaku sebagaimana yang diamanatkan Bapak Presiden. Saya termasuk yang tidak setuju bila proses hukum didasari oleh tekanan. Tidak boleh menentukan seseorang jadi tersangka atau memvonis tanpa proses hukum yang sah. Kita berharap agar prosesnya cepat dan transparan. Prosesnya sementara berlangsung, jalan masih panjang. Proses penyelidikan belum tentu terus ke proses penyidikan. Bisa saja tidak ada tersangkanya bila dalam proses gelar perkara tidak mengarah ke pidana. Penyidikan bisa berhenti jika tidak ditemukan bukti kuat. Perkara tidak akan sampai di persidangan jika pasal-pasalnya tidak memenuhi dan kejaksaan menghentikan prosesnya. Kalaupun sampai ke pengadilan belum tentu hakim memvonis bersalah. Jadi kita sabar saja menunggu. Bila kita mau menerima apapun hasil proses hukum, Insya Allah negeri kita akan aman damai. Wallahu Alam Bis Sawab
Salam hormat sejawat,
dr. Hisbullah