Ujian: Belajar Menjadi Orang Benar

HIDUP DEMI KERTAS HINGGA TIADA LAGI DUSTA DIANTARA KITA
Desember 31, 2015
GERAKAN BELANJA DI WARUNG TETANGGA
November 1, 2016

(Nasehatku untuk Santri-santriku) 

بسم الله الرحمن الرحيم

Wahai anak-anakku yang kucintai…. 
Mana yang benar: ‘belajar untuk ujian’ atau ‘ujian untuk belajar’? Jika pendapatmu adalah belajar untuk ujian, maka niat belajarmu hanya untuk menghadapi ujian. Kalian akan sibuk menguras tenaga untuk kursus tambahan, try out dan segala cara dikerahkan untuk menghadapi ujian.

Ujian menjadi beban: kalau tidak lulus maka menjadi aib, bahkan yang bersangkutan akan dicap bodoh dan sekolahnya pun dianggap gagal. Dengan demikian ukuran sukses atau gagal adalah ujian.

Sedangkan jika pendapatmu adalah ujian untuk belajar, maka hal itu mengandung arti bahwa ujian yang kalian hadapi bisa menjadi sarana pembelajaran bagimu. Ujian mengajarimu arti kesungguhan; mengajarimu tentang kebenaran, dan dengan ujian kalian akan belajar menjadi orang benar.

Dengan ujian, kalian harus bisa belajar arti kejujuran dan tanggungjawab; belajar memupuk rasa percaya diri yang tinggi. Bahkan, andaikata engkau belum berhasil pada ujian kali ini, saat itulah engkau belajar mengintrospeksi diri, kemudian belajar menghadapi kenyataan pahit, dan selanjutnya belajar untuk bangkit dari keterpurukan.

Bagi kami, kalian lulus atau tidak lulus dalam ujian, itu nomor dua. Yang pertama adalah sikap: bagaimana sikapmu sendiri terhadap hasil ujianmu. Ada orang yang awalnya berhasil, namun gagal menyikapi keberhasilannya dengan baik, sombong, lupa diri dan lain sebagainya, akhirnya tidak lama kemudian terjungkal jugalah ia. Akan tetapi, ada yang awalnya gagal, tetapi karena menyikapinua dengan baik dan bijak, akhirnya ia bisa bangkit dan berhasil di kemudian hari.

Anak-anakku yang selalu kubanggakan…

Sebagaimana sudah menjadi rahasia umum, banyak sekolah mendidik kepalsuan dalam ujian: mendidik kecurangan. Anak-anak dididik tidak bertanggungjawab, bahkan diajari bagaimana caranya curang, cara memalsu, cara menyontek, dan lain sebagainya. Targetnya adalah nilai tinggi dan lulus.

Padahal, apa artinya nilai tinggi jika didapatkan dengan cara yang tidak bermartabat: menipu dan memalsu? Ketahuilah anakku, biarpun engkau mendapatkan nilai 1, asalkan diperoleh dengan jujur, bersih dan bertanggung jawab, hal itu lebih kuhargai daripada nilai 10 tetapi isinya kecurangan.

Anak-anakku yang selalu kudoakan…

Ketahuilah, bahwa Ujian bukan sekedar untuk menguji kompetensi akademikmu saja, akan tetapi menguji pula kualitas moralmu. Justru dengan ujian, kepribadian dan akhlakul karimahmu sedang diuji. Maka, melalui ujian engkau kami didik menjadi anak-anak yang tangguh dan istikomah.

Kita yang di pesantren jangan sampai ikut-ikutan mengajarkan kecurangan dan pemalsuan pada saat ujian. Haram! Munafik! Apa artinya kelulusan jika akhlaknya hancur?

Di pesantren ini, kami mendampingimu 24 jam sehari; kami tidak sekedar mengajarimu teori cara shalat yang benar, akan tetapi meneladankan kepadamu cara shalat yang benar. Bahkan, setelah dirasa ilmumu cukup, kami rela shalat di belakangmu untuk melihatmu menjadi imam yang benar.

Kami tidak sekedar menceramahimu tentang arti perjuangan dan keikhlasan, tetapi kalian bisa lihat dan rasakan perjuangan dan keikhlasan guru-gurumu di pesantren ini yang mendidikmu 24 jam sehari. Sungguh, bagi kami kalian adalah anak-anak yang berharga, anak-anak mahal, maka tidak perlu kalian menjajakan diri dengan perilaku-perilaku murahan dan rendahan. Izzahmu dan iffahmu yang akan menempatkanmu di posisi yang terhormat di masyarakat.

Anak-anakku yang kurindukan selalu… 

Di sini kami mengajarkanmu tentang kebenaran, dan mendidikmu menjadi orang-orang yang benar. Jangan sekedar tahu kebenaran tetapi tidak menjadi benar. Banyak orang mengerti kebenaran, tetapi tidak menjadi benar.

Banyak orang belajar hukum tetapi melanggar hukum; orang belajar ilmu politik tetapi merusak tatanan politik; bahkan orang belajar agama justru melanggar ajaran agama.

Seharusnya yang belajar dan mengerti hukum harus menjadi teladan dalam penegakan hukum dan menjadi orang yang paling disiplin taat pada hukum. Seperti halnya orang yang belajar dan mengerti agama, harusnya menjadi teladan dalam pengamalan nilai-nilai keagamaan. Bahkan, dengan itu mestinya ia mendakwahkan pengetahuan dan pengamalan agama itu kepada orang lain.

Anak-anakku…. Yang harus kalian camkan betul adalah bahwa belajar tentang kebenaran tempatnya di sekolahan atau di majelis ta’lim, tetapi menjadi benar itu adalah hidayah Allah. Tujuan hidup kita sesungguhnya adalah untuk menjadi orang benar berdasarkan petunjuk Allah.

Itulah mengapa setiap saat kita meminta hidayah-Nya:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus (Qs. Al-Fatihah [1]: 6)

Maka, jangan sekedar belajar atau mengaji, akan tetapi mintalah selalu petunjuk (hidayah) Allah. Itu yang terpenting. Supaya kita selalu dituntun oleh hidayah-Nya.

Dengan menjadi orang benar, maka kita bisa membenarkan orang lain. Bagaimana bisa sapu yang kotor membersihkan lantai? Kalau mau menyabarkan orang lain, maka kita sendiri harus bisa bersikap sabar terlebih dahulu. Jangan bicara keikhlasan jika dirimu belum bisa ikhlas dalam berdakwah. Jangan sampai kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.

كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون
Maka dari itu, wahai anak-anakku yang selalu menyejukkan pandangan dan hatiku, sebagaimana yang diwasiatkan Rasul agar bertambahnya ilmumu harus pula diiringi dengan bertambahnya hidayahmu, agar kalian tidak sesat dan menyesatkan.

من ازداد علما ولم يزدد هدى لم يزدد من الله إلا بعدا
“Barangsiapa bertambah ilmunya, namun tidak bertambah hidayah-Nya, maka tidak akan bertambah apa-apa baginya kecuali hanya akan semakin menjauhkan diri dari Allah. “

Negeri ini butuh orang-orang benar, bukan mereka yang sekedar mengetahui kebenaran saja. Butuh orang yang berani menyatakan kebenaran, bukan yang sekedar berani membenarkan kenyataan saja.

Anak-anakku, semoga Allah selalu membimbingmu…
Sesungguhnya, yang terjadi di negeri ini adalah krisis akhlak, bukan krisis SDM! Karena SDM Indonesia banyak dan disegani dunia. Ahli-ahli sains teknologi milik kita bahkan dipakai oleh bangsa-bangsa lain.

Dimana-mana terjadi korupsi, mulai dari yang kecil hingga yang jumlahnya tak terhitung lagi; mulai dari yang sembunyi-sembunyi hingga yang terang-terangan. Jangan sampai nanti ada yang bilang bahwa SDM bukan lagi singkatan dari Sumber Daya Manusia, akan tetapi Sumber Daya Maling. NaudzubilLaahi min dzali, semoga Allah selalu melindungi bangsa ini dari kehancuran.

Nah, anak-anakku, kalian yang mengaji di pesantren adalah benteng terakhir pertahanan akhlak bangsa ini. Maka, pesantren tidak boleh ikut-ikutan rusak apalagi merusak. Jika dalam fiqh seperti yang kalian pelajari itu ada jenis-jenis air: ‘tohirun li nafsihi wa ghoiru mutohhir li ghoirihi’ (suci tetapi tidak menyucikan); dan ‘tohirun li nafsihi wa mutohhirun ki ghoirihi’ ( suci dan menyucikan), maka pesantren itu ibarat air yang ‘tohirun li nafsihi wa mutohhir li ghoirihi’: suci dan menyucikan. Maka, pesantren harus dijaga ketat supaya tidak tercemar sehingga menjadi najis.

Demikianlah, aku akan selalu mendoakanmu menjadi orang-orang saleh dan muslih; orang-orang yang benar dan membenarkan; yang berjuang dan memperjuangkan. Selamat ujian, anak-anakku, semoga taufik, hidayah dan inayah Allah selalu tercurah kepadamu semuanya.

Makassar 03 Mei 2016



Dr. dr. Hisbullah,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Whatsapp